Dua tangakai bunga krisan terbuai –
buai ditiup angin semilir, pagi – pagi sejuk. Keduanya merasa terganggu ketika
serombongan kaki – kaki manusia satu – satu lewat aman dekat – dekat menepis –
nepis. Batu – batu gunung yang besar – besar menimpa mereka dengan tajamnya,
selalu. “dipikir – pikir tak habis – habis, kenapa manusia – manusia itu banyak
– banyak yang ingin ke atas. Padahal tidak sedikit – sedikit yang jatuh –
jatuh,” ujar krisan yang muda yang berputik. Cerlang – cemerlang dengan pelan –
pelan. “mereka pemanjat gunung, ingin dipuja-puji dan…,” tiba-tiba ucapan
krisan tua berhenti. Hujan menderam-deram tiba-tiba dan mengalir-alirkan
air-airnya dan menyeret-nyeret kata-kata krisan-krisan tua kelembah yang
tiba-tiba sunyi-senyap. Lelawa berterbangan, hari telah sore. Terdengar hiruk
pikuk suara pemanjat-pemanjat gunung. ”mana dia, itu … ambil tali, disana…!
“krisan-krisan menutup telinga tidak tega mendengar mereka membantu yang jatuh.
“kau dengarlah, satu lagi terperosok,” ujar krisan tua. Krisan berputik cerlang
cemerlang tiba-tiba wajahnya kelam, seperti hari yang menyungkup. Tamoak air
mata duka mengalir diwajahnya, seperti
diwajah batu-batu padas yang diberitahu lelawa. Dan senjapun berangkat
setia.
Oleh Mars Mattola
From : Apresiasi Puisi Remaja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar